Kamis, 28 November 2013

Kisah Cinta Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra (by. Salim A. Fillah)

ross putih Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. 
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ‘Abdullah Sang Terpercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya. 
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ‘Utsman, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali.

Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.

‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. 
“Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali.
“Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. 
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.

‘Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ‘Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, “Aku datang bersama Abu Bakar dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ‘Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

‘Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. “Wahai Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar di balik bukit ini!” ‘Umar adalah lelaki pemberani. ‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.
 
Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan
 
Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.

Di antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
“Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. “
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

‘Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

“Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.

Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
“Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
“Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”

Dan ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

‘Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” 
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ‘Ali. 
Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. 
Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata,
“kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu” ini merupakan sisi ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.

Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)


#Kisah ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah
chapter aslinya berjudul “Mencintai sejantan ‘Ali”

Senin, 18 November 2013

~Altitude 3676 Takhta Mahameru~

          Musim pertanyaan. Sedangkan musim jawaban belum lagi tiba. Masih jauh serupa negeri di kutub paling dingin di selatan. Dengan apa kujawab sebuah tanya, kalau burung-burung pun bersembunyi dan tak bisa kuajak berbicara.

          Menceritakan musim: kau tahu apa artinya lembayung? Ingatkah kau pada wajah mendung? Lalu, masihkah kaki kita bisa menapak ke ketinggian dan tangan kita berpegang erat pada cadas-cadas yang menyembul di dinding tebing? Masihkah ada padang suryakencana dan lembah mandalawangi, serta hamparan edelweiss yang mengiangkan sebuah janji lagi di teluk sunyi?

          Menceritakan wajahmu: kau serupa perdu, tapi herannya padamu aku tetap menggantung. Kau selipkan semangat di genggaman tanganku yang terkelupas ketika aku pergi. Matamu penuh air, tapi aku selalu tak punya pelangi untuk menghapusnya.

          Masih mendaki gunung dan belum bertemu kebijaksanaan pada setiap langkah kaki. Musim masih pagi, tanya terlalu banyak dan kabut menyisa pekat. Bukankah timur dan barat adalah milik Allah adanya? Maka kemana perginya dirimu untuk berhijrah, niscaya Ia selalu sediakan untukmu tempat berteduh yang luas dan rejeki yang banyak.

          Aku masih berpegang pada cadas-cadas itu - bahkan. Kemana lagi selain untuk mengelus hatimu dan menuju maaf-Nya. Jika tidak tersedia kursi dari kayu untukku duduk, aku akan menebas hutan dan mengumpulkan ranting, tidur bersama daun. Bahkan, jika telaga telah kering ketika aku tiba nanti, aku masih bisa menyeret kaki dan rela menjadi pengemis yang menadah sambil menangis - tidak akan malu menadah: sebab kerajaan-Nya itu masih banyak menyimpan air.

By. Azzura Dayana

Sabtu, 16 November 2013

Menikahlah Bukan Karena Masa Lalu


Posted by. Ikhsanun Kamil - Foezi Citra
www. sekolahpernikahan.ning.com
 

Banyak orang yang bertanya pada saya, kenapa saya bersedia menikah dengan suami saya. Katanya, kenapa saya yang tidak pernah pacaran sama sekali mau menikah dengan orang yang pernah pacaran berkali-kali seperti beliau. Katanya, mengecewakan sekali saya yang bisa menjaga diri dari hal yang Allah larang itu, namun mau menikah dengan orang yang justru pernah melakukan hal tersebut. Katanya inilah, itulah. Mereka bertanya kenapa rasanya tidak sekufu atau apalah pandangannya.
 
Saya hanya tersenyum menanggapinya, kemudian hanya akan berkomentar bahwa saya tak pernah merasa salah menikah dengannya, menikah dengan lelaki paling baik yang pernah saya temui. Rasanya sombong sekali bila menyesalinya, karena hal ini sudah menjadi takdir dan kehendak Allah SWT.
Bagi saya, masa lalu setiap orang tak pernah menjadi patokan yang utama. Setiap orang berhak untuk memiliki masa lalu yang buruk, namun setiap orang juga berhak memiliki kesempatan untuk memperbaikinya. Setiap orang berhak memiliki masa kini yang  lebih baik dan masa depan yang lebih baik lagi, dibanding masa lalunya, karena memang itu adalah suatu keharusan.

Dari dulu saya paling tidak suka judgemental pada orang, apalagi bila saya belum mengenalnya. Maka meskipun dari dulu prinsip saya tidak mau pacaran, saya tidak mau untuk merendahkan orang-orang yang memang berprinsip seperti itu. Bahkan saya dekat dengan mereka, banyak teman saya yang pacaran namun justru sering curhat sama saya perihal hubungan mereka. Lucu memang, orang yang tidak pernah pacaran sama sekali sering jadi tempat curahan hati banyak orang perihal seperti itu.
Bagi saya, hanya ada satu Dzat yang berhak menghakimi apakah seseorang shaleh/shalehah, apakah dia lebih baik atau tidak satu sama lain, yaitu Allah SWT. Saya tidak boleh merasa diri saya lebih baik dari orang lain sedikitpun, padahal boleh jadi dosa-dosa saya jauh lebih besar dibanding mereka yang dianggap tidak shaleh/shaleha.

Rasanya predikat shaleh/shaleha yang dicap manusia itu justru menjadikan suatu beban, karena toh predikat itu sebenarnya didapat saat kelak di akhirat, saat kita bisa bertemu dengan Allah dan Rasul kita. So, jangan salahkan orang yang pacaran bila kita sendiri hanya berdiam diri, jangan merasa lebih baik dari mereka, karena boleh jadi amalan wajib dan sunnah kita tak pernah lebih baik dari mereka. Boleh jadi kita memiliki banyak lumbung dosa yang lain dibanding mereka. Teman seperti itu perlu dirangkul, bukan untuk dihakimi, karena boleh jadi mereka masih melakukan hal tersebut karena mereka tak tahu, ya karena mereka tak tahu, dan tugas kita sebagai orang terdekat yang mengingatkan.

Menikah itu bukan mempermasalahkan seberapa buruk masa lalu seseorang, namun seberapa banyak ia belajar dari masa lalunya, mengambil hikmah dari masa lalunya, yang menjadikan pribadi masa kini yang lebih baik. Menikah itu masalah seberapa kuat dan yakin seseorang untuk mengukir masa depan yang lebih baik, bersama pasangan yang Allah takdirkan untuknya.

Dulu sebelum menikah, suami saya seringkali merasa tak pantas dengan saya, katanya : “Kalau dosa beraroma, maka kau tak akan mau menikah denganku.” Kemudian saya juga jawab : “Dan kalau memang dosa beraroma, maka kamu pun lebih tak mau menikah denganku.” Saat itu ia kemudian menitikkan air matanya.

No! saya tidak mau merasa bahwa diri saya begitu suci dengan tidak pernah pacaran, bahwa saya harus menikah dengan orang yang tidak pacaran juga. Sungguh terlalu dangkal apabila pemahaman keadilan manusia yang jadi patokan, karena terkadang keadilan Allah itu bahkan tak bisa dicapai nalar manusia, bahkan keadilan Allah seringkali dianggap suatu ketidakadilan bagi manusia. Nah, boleh jadi mungkin suami saya memiliki dosanya yang pernah pacaran, namun itu telah terhapus dengan segala amalan baiknya, taubat nasuha yang beliau lakukan. Boleh jadi juga, meskipun tak pacaran namun dosa saya berlumur dari ranah-ranah lain, yang terkesan tak terlihat, karena hanya diri saya sendiri dan Allah yang mengetahuinya.

Ah, saya hanya terlihat begitu baik karena kebaikan Allah yang telah menutupi aib-aib saya. Allah yang Maha Baik yang masih menjaga kehormatan dan harga diri saya di depan orang lain. Bila Allah berkenan, sangat mudah baginya untuk membongkar seluruh aib dan dosa saya selama ini. Saya menikah dengan seorang Ikhsanun Kamil Pratama, karena Allah yang memantaskan kami untuk saling menjadi cermin, saling melengkapi untuk memperbaiki diri. Bagi saya, masa lalu dan dosa suami saya adalah urusan ia dengan Allah. Saya tak perlu mempermasalahkan masa lalunya, karena yang penting ia yang sekarang dan di masa depan, yang jauh lebih baik lagi.

Maka, untukmu yang akan menyempurnakan separuh agama, menikahlah bukan karena masa lalu yang jadi patokan utama, namun menikahlah dengan ia yang mampu mengambil hikmah untuk memantaskan diri di hadapan-Nya, menjadi pribadi yang lebih baik, di saat ini dan seterusnya. Menikahlah dengan ia yang mau bergerak bersama menuju perbaikan tanpa henti, hanya demi ridha Illahi rabbi.

Masa lalu adalah suatu pembelajaran, masa kini adalah kehidupan, dan masa depan adalah harapan. Nikmati dan syukuri setiap prosesnya. Wallahualam :)
Menikahlah bukan karena masa lalu, namun menikahlah karena Allah Sang pemilik masa :)

Selasa, 12 November 2013

NIKAH? buat apa?

by. Imar Dalilah 
www.sekolahpernikahan.ning.com


Nikah, kata yang mungkin bisa bikin yang masih single mati gaya, apalagi kalo ditanya kapan nikah? :D

Atau juga bikin perasaan ga karuan gimana gitu :D

Kenyataannya kalo si single ditanya mau nikah apa ga, jawabannya pasti mau. Tapi kalo ditanya siap apa ga, wah belum tentu banyak yang jawab siap. Saya sendiri merasakan sih :D

Nah beda hal kalo ada orang yang sering bahas NIKAH. Pasti deh di cap NGEBET nikah. Padahal belum tentu. Itu yang saya rasain sekarang. Dua tahun belakangan ini saya sering banget bahas nikah pada teman-teman saya. Wah awal-awal tuh beneran di cap GENIT, CENTIL, kecil-kecil ko omongannya nikah mulu (saat itu usia saya sekitar 20 tahun). Agak ‘panas’ juga ya. Honestly, saya bukan ngebet nikah tapi saya pengen orang di lingkungan saya itu AWARE soal pernikahan. Kenapa?

Saya ceritakan, berawal dari adik kelas saya selalu menyarankan saya untuk sesegera mungkin menikah setelah lulus kuliah. Dalam frame saya, nikah itu bukan yang mesti di segerakan. Saya sudah punya rencana untuk melanjutkan kuliah S2 lalu berkarier setelah itu baru menikah. Yaaa mindset kebanyakan wanita yang masih belum paham ilmunya.

Sering sekali adik kelas saya bilang kayak gitu. Sampai akhirnya saya mulai paham WHY-nya, dan semakin bertambah ilmu setelah ketemu akun twitter ustadz Felix, Tweet nikah, juga buku MUB-nya pak Noveldy. Dari situ mulai lah saya menyebar virus nikah :D Tujuannya bukan ngomporin orang untuk cepetan nikah tapi lebih kepada PERSIAPAN.

Menikah itu bukan sekedar menyatukan dua orang yang saling cinta tapi gerbang membangun satu generasi, suatu peradaban yang lebih baik lagi. Kebayang ga kalo kita nikah tanpa ilmu? Tanpa pengetahuan? Tanpa keterampilan? Waduh, kayak lagi di kamar eh terus mati listrik. Bisa ke jedot sana sini.

Saya tambah yakin dan semangat untuk menyebarkan virus tersebut, di dukung oleh latar belakang pendidikan (kuliah) dan juga bisnis yang saya jalankan (bimbingan belajar) serta ditambah realitas kehidupan anak-anak zaman sekarang.

Menikah tanpa ilmu, bisa jadi tujuan kita cuma karena kita ga tau lagi mesti melewati fase kehidupan seperti apa, bukan untuk beribadah, bukan untuk menghasilkan generasi yang lebih baik dibanding kita (orang tuanya nanti). Bisa jadi karena tanpa ilmu, cara-cara yang kita lakukan pra nikah (mendapatkan pasangan) bukan cara yang Allah tetapkan, bukan cara yang Rasulullah ajarkan. Yups, PACARAN (PAke CARA Nikah), KEBABLASAAAAN ! Ga cuma itu, masih banyak juga yang pake MODUS buat deketin lawan jenisnya. Padahal sama aja.

Kalo kita menuju pernikahan pake cara-cara seperti itu ibarat kita dapat buah mangga tapi boleh nyolong. Mangga-nya halal, tapi caranya? HARAM ! Terus kalo dimakan, tubuh kita mengandung hal yang haram juga bukan? Tegakah kita terhadap calon anak kita nanti? Sayangilah anak kita dari sebelum ia lahir, dengan cara apa? Yaa tadi, pakelah cara-cara yang sudah Rasulullah tetapkan. Sungguh, pernikahan bukan sekedar Romantic Love tapi lebih dari itu, salah satunya membangun satu generasi penerus bangsa, yang akan mengubah dunia ini jadi lebih baik.

Berpikirlah yang luas, bukan soal perasaan kita terhadap si calon pasangan kita saja. Bagaimana mungkin kita mendidik anak tapi kita ga punya ilmunya? Persiapkan juga diri kita menjadi orang tua yang memang pantas Allah berikan anak yang soleh/ah. Kalo kita mendidik anak dengan ilmu atau cara yang orang tua ajarkan pada kita apakah tepat?

Kita tidak hanya mewariskan harta pada anak tapi juga ilmu, termasuk cara kita mendidik anak kita yang nanti dia pun menerapkan cara tersebut kepada anaknya kelak. Lalu cucu kita menggunakan cara yang sama dalam mendidik anaknya. Terus begitu, tak terhingga. Kebayang kita sudah bikin suatu peradaban kan? Kalo kita mendidik anak dengan cara yang salah, bukankah kita dimintai pertanggung jawabannya kelak?

Saya memang belum menikah, insya Allah saya bukan sok tau. Ilmu ini saya dapatkan dari orang-orang sekitar, dari buku-buku, dari guru, dan yang pasti dari pengalaman orang lain. Kata Allah, apa-apa yang terjadi adalah tanda kekuasaan Allah bagi orang yang berpikir. Nah makanya saya berpikir tentang kejadian-kejadian rumah tangga di sekitar saya, ga Cuma itu sih, turunnya moral anak-anak sekarang juga jadi pemikiran saya.

Semoga tulisan ini bermanfaat dan semoga para pendakwah yang masih single, yang banyak membahas nikah tidak lagi di cap ngebet nikah karena nikah itu bukan perlombaan. Kalo ngebet itu terkesan buru-buru. Beda dengan menyegerakan, itu ada persiapan.

Baik wanita maupun pria, persiapkanlah diri kita sebaik mungkin. Tidak sekedar memikirkan pesta pernikahannya tapi setelah pesta pernikahan usai.  Fokus pada perbaikan diri bukan fokus pada siapa jodoh kita nantinya. Siapa itu tergantung ada apa dalam diri kita :D

Akhir kata saya kutip dari sebuah buku : Tumbuhan yang tumbuh di semaian tidak seperti tumbuhan yang tumbuh di tanah kering. Wajarkah bila anak-anak diharapkan sempurna, sedang ia disusui oleh susu ibu yang banyak kekurangan

Minggu, 03 November 2013

Amal Hati

Oleh : Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc

Amal hati lebih agung dari amalan badan..
Tawakal.. Takut.. Berharap.. Cinta.. 
Dan amal hati lainnya..

Abu Hurairah berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ditanya:
"Amal apa yang paling utama?..
Beliau menjawab: "Iman kepada Allah..
Kemudian apa?..
Beliau menjawab, "Jihad fi sabilillah."
(HR Bukhari dan Muslim).

Padahal jihad jauh lebih melelahkan..
Namun iman kepada Allah jauh lebih utama..

Lihat saja..
Infak kita dengan emas sebesar gunung...
Tidak dapat mengalahkan infak shahabat dengan satu genggam emas..
Karena berbeda iman kita dengan mereka..
Mereka lebih ikhlas..
Lebih takut kepada Allah..
Lebih cinta kepadaNya..

Orang yang lebih sedikit amalnya dari kita..
Mungkin utama karena ketaqwaan hatinya..
Oleh karena itu..
Jangan tertipu oleh banyaknya amal..
Karena ilmu bukan dengan banyaknya riwayat yang kita hafal..
Tapi ilmu itu hakikatnya adalah yang melahirkan rasa takut..
Bukan melahirkan rasa ujub..

Jangan Tertipu

Oleh : Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc

 Imam Muhammad bin Husain Al Ajurri rahimahullahu berkata:
"Bagi orang yang melihat kepada seorang khowarij..
yang membangkang kepada penguasa, baik penguasa yang adil ataupun zolim..
ia mengumpulkan masa dan mengangkat senjata kepada penguasa..
tidak layak baginya untuk tertipu dengan hafalan qur'annya..
panjang sholatnya..
hebat puasanya..
banyak ilmunya..
bila pemikirannya pemikiran khowarij..
(Asy Syari'ah hal 38).

Terkadang..
Kita sering tertipu oleh penampilan..
Kelihaian ucapan dan kefasihan..
Ketawadlu'an dan kekhusyu'an..
Namun kita tidak melihat bagaimana keyakinannya..
Apalah guna penampilan..
Bila aqidahnya tersesat jalan..
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika mengabarkan sifat khowarij..
Beliau bersabda, "Kamu akan menganggap remeh sholatmu dibandingkan dengan sholat mereka..
Puasamu dibandingkan dengan puasa mereka..
Namun beliau menyatakan bahwa mereka melesat dari islam..
Seperti busur panah yang melesat dari buruannya..
Maka..
Waspadalah saudaraku..
Jangan anda tertipu..
Barakallahu fiikum..

Bid'ah Hasanah

Oleh : Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc
Kata kiyai ada bid'ah hasanah..
Jadi tidak semua bid'ah sesat..
Kata kiyai..
kiyai atau ulama bukan Nabi..
Semuanya boleh diterima atau ditolak perkatannya..
Kecuali Nabi..

Bid'ah hasanah.. Berarti bid'ah yang baik..
Bila kebaikan itu menurut pandangan kita..
Maka semua orang yang berbuat bid'ah pasti memandang baik perbuatannya..
Ahmadiyah memandang baik bid'ahnya....
Kaum Syi'ah memandang baik bid'ahnya...
Lia Eden pun sama..
Bahkan Fir'aun pun memandang dirinya di atas kebaikan.
Dengarkan Firman Rabbuna:
قال فرعون ما أريكم إلا ما أري وما أهديكم إلا سبيل الرشاد
"Berkata Fir'aun, "Aku tidak memandang untukmu kecuali yang aku pandang baik. Dan aku tidak membimbing kalian kecuali kepada jalan yang lurus." (Ghafir: 29).

Tahukah anda..
Memandang baik itu sama dengan mensyari'atkan..
Camkan baik-baik perkataan imam Asy Syafi'I, "Siapa yang menganggap baik maka ia telah membuat syari'at."
Padahal hak membuat syari'at adalah hak tunggal bagi Allah semata..
Oleh karena itu..
Allah mengecam orang-orang yang membuat syari'at..

أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله
"Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang membuat syari'at untuk mereka dengan sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah?"

Abdullah bin Umar berkata, "Semua bid'ah sesat walaupun dipandang baik oleh manusia."

Sabtu, 02 November 2013

Pengaduan yang Jahil

Sebagian salaf pernah melihat seseorang yang mengadukan kesusahannya kepada orang lain. Ia berkata, "Wahai kamu, demi Allah engkau tidak lebih dari mengadukan Dzat yang menyayangimu kepada manusia yang tidak menyayangimu."
(Al Fawaid hal. 114).




 

Terkadang..
Kita diterpa cobaan kehidupan..
Beralaskan kesusahan dan beratapkan kepedihan..
Menghimpit dada..
Melinangkan air mata..
Namun..
Seringkali kita lupa..
Barangkali Allah ingin menghapus dosa-dosa..
Barangkali Allah ingin mengangkat derajat kita..
Lalu..
Kitapun mengadukan Allah kepada manusia..
Mengeluhkan kesusahan dan kepedihan..
padahal..
Kalaulah ia mengenal Rabbnya..
Selayaknya ia hanya mengadu kepada Allah..
Karena Dia Maha kasih sayang kepada hambaNya..
Sedangkan manusia lemah..
Walaupun ia merasa iba, ia tak mampu berbuat apa apa..
Hanya do'a yang terucap..
Hanya untaian kata sebagai pelipur lara..
Betapa indahnya ucapan Nabi Ya'qub..
Innama asyku batsi wa huzni ilallah..
Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku..


 Oleh : Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc

Jumat, 01 November 2013

Dua Nikmat yang Besar

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
"Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah dua ni'mat yang paling besar yang Allah berikan kepada seorang hamba. Bahkan tidak ada pemberian yang paling utama setelah ni'mat islam dari dua ni'mat tersebut.

Dengan dua ni'mat tersebut seorang hamba akan selamat dari jalannya kaum yang dibenci (yahudi) yang rusak niatnya, dan kaum yang sesat (Nashara) yang rusak pemahamannya.
Ia akan termasuk orang-orang yang diberikan ni'mat yang benar pemahamannya dan baik niatnya. Merekalah yang berada di atas jalan yang lurus yang Allah perintahkan kita untuk selalu memohonNya agar ditunjukki ke jalan tersebut.

Pemahaman yang benar adalah cahaya yang Allah berikan kepada hati seorang hamba. Dengannya ia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, al haq dan kebatilan, hidayah dan kesesatan. Dan menjadi dahsyat ketika disertai dengan niat yang lurus, mencari kebenaran dan bertakwa kepada Allah.

Namun niat yang lurus dapat putus bila hawa nafsu diikuti, mengutamakan dunia, mencari pujian manusia dan meninggalkan ketakwaan."
(I'laamul muwaqqi'iin hal 66 tahqiq Raid bin Shabri bin Abi 'Alafah)

Seperti Alang-Alang

Lihatlah alang-alang itu..

Tak sepi dari angin yang menerpa..
Terkadang ia merunduk terkadang ia meliuk..
Ketika angin telah pergi..
Ia pun kembali tegak tersenyum..

Ajaibnya..
Sebesar apapun angin menerpa..
Ia tak pernah tercabut terbawa hembusan angin..
Ia bagaikan seorang mukmin..
Hidupnya tak sepi dari ujian..
Namun ia tetap tabah dan sabar..
Hatinya dipenuhi iman dan ketawadluan..
Sebaliknya..

Pohon beringin yang besar..
Ia tampak kokoh mengagumkan..
Namun.. Ketika angin topan bertiup..
Ia mudah tumbang tersungkur..
Itulah perumpamaan munafik..
Ia terlihat mengagumkan..
Badannya yang tegap dan kuat..
Namun hatinya rapuh..

Tak punya kesabaran tidak pula ketabahan..
Demikian Nabi kita mengumpamakan..
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim..
Ya Rabb.. Jadikan aku kuat seperti alang-alang..

ustadz abu yahya badrusalam