Bismillah...
Dahulu saat pertama jadi seorang ibu adalah kondisi yang berat bagiku karena segala sesuatunya adalah hal yang baru, butuh penyesuaian dan adaptasi yang ekstrem. Hingga baby blues menghampiri ku.
Aku yang terbiasa sendiri menghadapi segala sesuatu, canggung untuk membuka perasaan menjadi terbuka tentang hal terdalam termasuk segala ketakutan terbesarku. Sehingga semua hal sebagian besar peran baruku kulakukan sendiri.
Sekarang aku sudah memiliki 4 anak. Kerepotan fisik sudah semakin bisa kuhadapi, bisa dikatakan semakin ahli multitasking, meskipun keahlian itu berbarengan dengan vitalitas yang semakin menurun, menjadi grafik hasil lebih yang semakin menurun.
Sejujurnya, ketakutan ku pada banyak hal semakin bertambah. Ditambah aku tidak punya tempat untuk meluahkan segala beban perasaan karena begitu banyaknya pertimbangan ku dalam mengungkapkan perasaan. Begitu overthinking terhadap situasi dan kondisi yang mungkin tidak tepat dan "collateral damage" yang timbul jika aku menjadi blak-blakan. Sebuah keputusan yang tak pernah kusesali. Bahwa berpikir sebelum mengungkapkan jauh lebih baik untuk situasi yang kuhadapi. Dunia introvert ku untuk urusan perasaan adalah jati diri.
Anakku bertambah banyak, beban secara emosional semakin berkembang dan itu sungguh sangat melelahkan dan terkadang aku merasa sendirian, karena "bersama" dalam kesulitan ini tak menemukan solusi yang sesuai ekspektasi, jadi menjadi "sendirian" itu sendiri adalah solusi. Seperti de javu saat memiliki anak pertama, pada anak ke empat sebenarnya aku merasa kewalahan secara emosi.
Di usiaku yang ke 37 tahun ini tiba-tiba seperti tersadar pada kenyataan yang sudah lama ku tahu, bahwa dunia, semakin dikejar semakin jauh, begitupun berharap kepada makhluk semakin bergantung maka semakin kecewa. Tersadar bahwa dulu saat hanya memiliki anak satu aku melewati pekerjaanku tanpa banyak berharap kepada pasangan, mengalir saja dengan diri sendiri dan rasanya jauh dari kekecewaan karena aku tak memiliki ekspektasi apapun, dengan begitu hari-hari ku dan hatiku jauh lebih tenang. Seharusnya begitu perasaanku saat ini. Harusnya berhenti berharap terhadap kebendaan maupun hal yang berkaitan dengan perasaan pada siapapun. Bukan hendak menjalani penderitaan tiada akhir dengan mencoba "sendiri", tapi membangun kekuatan "sendirian" sepertinya hal yang cocok untuk situasi ku. Dan kebijaksanaan berfikir ini seperti titik terang buatku, sebagai turning point untuk menerima keadaan dan belajar ikhlas. Mungkin terberatnya adalah mengadaptasi diri lagi untuk menerima keadaan, untuk melegakan perasaan dan membebaskan hati dari ketergantungan.
Menjadi introvert ternyata adalah nikmat dari kepribadian yang Allah berikan padaku, menyimpan banyak "rahasia" ternyata lebih menenangkan daripada banyak membicarakan nya. Banyak bicara sehari, menjadi ceria dan terbuka, ternyata membuatku lelah berhari-hari. Menjadi "gloomy" adalah diriku. Kemana saja aku selama ini? Memaksakan diri pada banyak hal yang membuatku sesak?
Merubah karakter seseorang yang sudah terbentuk bertahun-tahun bukan hal yang mudah kecuali orang itu terbangun kesadarannya untuk berubah, karena keadaan yang mengharuskan beradaptasi.
Mungkin benar usia 40 tahun adalah kedewasaan secara mental dan spiritual, menjadi lebih tenang dan terarah. Tapi bagiku seperti kembali ke setelan awal, default ☺.
Ke-gloomy-an ternyata lebih cocok untukku. Jika aku berubah menjadi lebih diam, bukan berniat menghukum orang lain dengan kesunyian. Aku hanya mencari situasi yang lebih nyaman untuk diri sendiri.
Aku dengan segala pemikiran mendalam, aku yang suka pembicaraan serius, aku yang penuh perencanaan kerja yang sistematis dan terukur. Aku yang introvert dan perfeksionis yang kadang melelahkan. Aku yang sensitif dan penuh perasaan namun terkadang sadis; dengan diam pengabaian tak perduli; dan aku yang tak suka intonasi tinggi dan hiruk pikuk pertengkaran; meski itu kadang kulakukan saat jiwaku overload kelelahan; aku yang mudah bosan dengan rutinitas yang sama berulang-ulang. Aku yang paling suka kebersamaan keluarga meski hanya mengobrol dan melihat anak-anak bermain, sederhana.
Aku perlu membangun sendiri dunia tenang dan bahagia ku, karena disana tempat aku pulang, dalam sendiri ku dengan segala ketergantungan ku pada Tuhan. Tempat ternyaman untuk perasaan ku pulang, Allah subhana wa ta'ala.